BILA PARTNER HENDAK MENCARI SUATU KATA OR PASAL DI DALAM SEBUAH ARTIKEL DI DALAM BLOG INI, PARTNER DAPAT MENCARINYA DENGAN MENEKAN TOMBOL "CTRL + F" SECARA BERSAMAAN DAN DI BAWAH AKAN MUNCUL SEBUAH BANTUAN YANG DAPAT DIPAKAI UNTUK MENCARI KATA DAN PASAL TERSEBUT.

Kamis, 29 April 2010

CONTOH SURAT PERMOHONAN CERAI CUGAT

Makassar, ------------

K e p a d a

Yth. Bapak ketua Pengadilan Agama Makassar

Di –

M a k a s s a r

Prihal : CERAI GUGAT

Dengan Hormat,

Yang bertanda tangan dibawah ini;


MAWAR, Umur 34 Tahun, Agama Islam, Pekerjaan Ibu Rumah Tangga, beralamat di Jln. ------ No. , kelurahan -------, Kecamatan --------, Kota A, Selanjutnya disebut sebagai PEMOHON.

Dengan ini mengajukan Cerai Gugat Terhadap :

BINTANG, Umur 33 Tahun , Agama Islam, Pekerjaan Wiraswasta, Beralamat di Jln ---------. , Kelurahan -------, Kecamatan -----, Kota -------, Selanjutnya disebut sebagai TERMOHON.

ADAPUN DUDUK PERSOALANNYA SEBAGAI BERIKUT :

  1. Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami Isteri yang terlah menikah pada Tanggal 08 Maret 1986 dengan Kutipan Akta Nikah Nomor : -------------------, pernikahan mana dilakukan di Kota Makassar.

  1. Bahwa setelah dilakukan Pernikahan Pemohon dan Termohon langsung tinggal di Kota A yaitu mengikuti tempat kediaman tetap Termohon karena Termohon berasal dari Kota A .

  1. Bahwa selama Pernikahan antara Pemohon dan Termohon telah lahir dua ( 2 ) orang anak yang masing – masing bernama :

    1. BINTANG sekarang sudah berumur 20 Tahun.

    1. MELATI, sekarang sudah berumur 16 Tahun

  1. Bahwa antara Pemohon dan Termohon mulai tahun 2000 sudah selalu bertengkar yang disebabkan adanya perbedaan pendapat yaitu tentang keuangan dalam rumah tangga., dimana Pemohon tidak diperlakukan dan difungsikan sebagai Ibu Rumah Tangga oleh Termohon dan Malah Termohon sendiri yang Belanja atas semua kebutuhan Rumah tangga, sehingga menurut Pemohon tindakan Termohon adalah sangat melecehkan Pemohon sebagai Isteri Pemohon .

  1. Bahwa Termohon selama Pernikahan dengan Pemohon tidak pernah memperhatikan Kebutuhan Pemohon sebagai Isteri dan lebih memperhatikan kebutuhan dari keluarganya sendiri.

  1. Dan akibat dari Perbuatan Termohon sebagaimana tersebut diatas, maka Pemohon mengalami Penderitaan Lahir sampai dengan sekarang ini, dan akibat dari pada itu Pemohon sudah beberapa kali melarikan diri ke Makassar, namun di jemput kembali oleh Termohon, sehingga pemohon Kembali lagi hidup bersama dengan harapan Termohon dapat merubah cara perlakuan selama ini kepada Pemohon dan ternyata harapan Pemohon tersebut tidak terwujud.

  1. Bahwa oleh karena selama ini Pemohon sudah cukur sabar menghadapi perlakukan yang tidak wajar dari Termohon , sehingga Pemohon sudah tidak Tahan lagi untuk menderita, maka tidak ada jalan lain bagi Pemohon kecuali harus bercerai dengan Termohon.

Bahwa berdasarkan segala apa yang diuraikan diatas, maka Pemohon memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Makassar, Cq. Majelis Hakim yang memeriksa Perkara Cerai gugat ini berkenan untuk menjatuhkan Putusan sebagai berikut :

    1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya.

    1. Menyatakan bahwa Pernikahan antara Pemohon dengan Termohon yang berdasarkan Kutipan Akta Nikah Nomor : -----------------------------------sudah tidak bisa dipertahankan lagi.

    1. Memerintahkan kepada Termohon yaitu BINTANG untuk mengikrarkan Talak Satu kepada Pemohon yaitu terhadap MAWAR.

    1. Menyatakan bahwa kedua anak masing – masing hak Asuhnya berada pada Pemohon.

    1. Menghukum Kepada Termohon untuk menyerahkan kedua anak Pemohon sebagaimana pada poin 4 ( empat ) tersebut diatas kepada Termohon tanpa syarat apapun.

    1. Menghukum kepada Termohon untuk memberikan nafkah kepada kedua orang anaknya tersebut yaitu sebesar Rp. 1.000.000,- ( sartu juta rupiah ) perbulan sampai kedua anak tersebut bisa mandiri..

    1. Menghukum kepada Termohon untuk membayar semua biaya yang timbul dari perkara Cerai gugat ini.

Hormat Pemohon

MAWAR

Rabu, 28 April 2010

JENIS – JENIS PIDANA dan TEORI PEMIDANAAN

Menurut Pasal 10 KUHP jenis pidana atau hukuman ada 2 macam

I. Pidana utama yang terdiri atas

1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda

II. Pidana tambahan yang terdiri atas
1. Pencabutan hak – hak tertentu
2. Perampasan barang – barang tertentu
3. Pengumuman keputusan hakim


Pidana utama dapat dijatuhkan bersama dengan pidana tambahan, dapat juga dijatuhkan tersendiri, tetapi pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan tersendiri tanpa perjatuhan pidana tambahan dengan kata lain pidana tambahan adalah accecoir dari hukuman utama.

Pidana Mati

Pidana mati di Indonesia dapat dijatuhkan pada kejahatan :

1. Makar membunuh kepala negara ( 104 )
2. Mengajak negara asing guna menyerang Indonesia ( 11 ayat 2 )
3. Memberi pertolongan pada musuh pada waktu Indonesia dalam perang ( 124 ayat 3 )
4. Membunuh kepala negara sahabat ( 104 )
5. Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu ( 340 )
6. Pembajakan yang mengakibatkan ada orang mati ( 444 ) dan lain – lain.

Pelaksanaan pidana mati baca lebih lanjut Pasal 11 KUHP

Pidana Penjara ( Pasal 12 KUHP)

Pidana diancamkan terhadap kejahatan yang disengaja, culpa dan pelanggaran fiscal. Lamanya hukuman penjara sekurang – kurangnya satu hari dan selama – lamanya 15 tahun berturut – turut. Hukuman penjara boleh dijatuhkan selama – lamanya 20 tahun berturut – turut dalam hal menurut hakim boleh dihukum mati atau penjara seumur hidup.

Pidana Kurungan ( Pasal 18 KUHP )

Pidana kurungan diancamkan kepada pelanggaran dan kejahatan – kejahatan berculpa. Lamanya pidana kurungan minimum satu hari maksimum satu tahun bisa ditambah 1 tahun 4 bulan apabila ada gabungan, recidive, dalam hal Pasal 52 KUHP.

Perbedaan Antara Pidana Penjara Dengan Pidana Kurungan .

1. Pekerjaan pada orang yang dijatuhi pidana kurungan lebih ringan daripada orang yang dijatuhi pidana penjara.
2. Pidana kurungan harus dilaksanakan dalam wilayah tempat tinggal si terpidana sedangkan pidana penjara dapat dilaksanakan diseluruh wilayah Indonesia.
3. Pidana kurungan tidak boleh dijatuhkan pada kejahatan yang disengaja atau berculpa.
4. Pidana kurungan tidak boleh diberi pelepasan bersyarat.
5. Orang yang dipidana kurungan dapat memperbaiki nasibnya sendiri atas ongkos sendiri / biaya ( fistole )

Pidana Denda ( Pasal 30, 31 )

Pidana denda diancamkan terhadap kejahatan maupun pelanggaran semata – mata ataupun alternatif oleh hukuman penjara atau kurungan.
Pada waktu dijatuhkan pidana denda, maka dalam surat keputusannya hakim menentukan pula berapa hari hukuman kurungan yang harus dijalani sebagai pengganti apabila denda tidak dibayar. Hukuman kurungan semacam ini dinamakan hukuman kurungan pengganti denda. Terhukum bebas untuk memilih antara membayar denda atau menjalankan hukuman kurungan penggantinya.






Pencabutan Hak – Hak tertentu (Pasal 35 KUHP)

Hak – hak dapat dicabut adalah :

1. Hak untuk mendapat segala jabatan atau jabatan yang tertentu
o Segala jabatan hanya berarti orang itu tidak boleh sama sekali menjabat jabatan apapun.
o Jabatan tertentu hanya mengenai jabatan yang disebutkan dalam surat keputusan hakim,
2. Hak untuk masuk pada kekuasaan angkatan bersenjata.
3. Hak pilih aktif atau pilih pasif anggota DPR pusat dan daerah serta pemilihan lainnya yang diatur dalam UU
4. Hak menjadi penasehat, penguasa, dan menjadi wali curator pada orang lain.
5. Hak untuk mengerjakan pekerjaan tertentu ( semua pekerjaan yang bukan pekerjaan negara )

Perampasan Barang – Barang Tertentu

Barang – barang yang dapat dirampas ada dua macam

1. Barang yang diperoleh dari kejahatan
2. Barang yang digunakan atau yang dipakai melakukan kejahatan

Pengumuman Keputusan Oleh Hakim

Semua putusan hakim telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, tetapi sebagai hukuman tambahan putusan itu secara istimewah disiarkan sejelas – sejelasnya dengan cara yang di tentukan oleh hakim misalnya melalui surat kabar, radio, ditempelkan di tempat umum sebagai plakat. Semua ini atas biaya terhukum.

Hukuman Bersyarat dan Pelepasan bersyarat (Pasal 14a)

Hukuman Bersyarat

Hukuman bersyarat biasa juga disebut hukuman dengan perjanjian. Pada pokoknya orang dijatuhi hukuman, tetapi tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa terhukum belum habis masa percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya. Jadi keputusan penjatuhan hukuman tetap ada, hanya pelaksanaan hukuman tidak dilakukan. (tidak lebih dari 1 tahun)

Maksud penjatuhan semacam ini ialah untuk memberi kesempatan kepada terpidana supaya dalam tempo percobaan itu memperbaiki diri dengan tidak berbuat peristiwa pidana atau tidak melanggar perjanjian yang diberikan kepadanya dengan harapan jika berhasil, hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya itu tidak akan dijalankan buat selama – lamanya.

Hukuman dengan bersyarat ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal dijjatuhkan hukuman penjara tidak 1 (satu) tahun dan hukuman kurungan yang bukan kurungan pengganti denda. Jadi hukuman penjara lebih dari 1 (satu) tahun dan hukuman kurungan pengganti denda tidak mungkin dijatuhkan hukuman bersyarat semacam ini. Tempo, dimana terhukum menahan diri supaya tidak melanggar perjanjian yang diberikan oleh hakim disebut tempo percobaan.

Lamanya masa percobaan bagi kejahatan – kejahatan dan pelanggaran yang ditentukan dalam Pasal 492 ( mabok dengan menggangu ketertiban umum ) Pasal 504 (minta – minta di tempat umum) Pasal 506 (berbuat sebagai mucikari) maksimum 3 tahun sedangkan bagi pelanggaran lainnya 2 (dua) tahun.

Perjanjian yang dapat diberikan oleh hakim ada 2 macam : (Pasal 14c ayat 3)

1. Syarat – syarat umum yaitu tidak boleh berbuat peristiwa pidana lagi.
2. Syarat istimewah yaitu apa saja yang mengenai kelakuan sepak terjang terpidana, sepanjang tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan politik.

Perintah untuk menjalani hukuman tidak dapat diberikan lagi, jika tempo percobaan sudah habis, kecuali jikalau si terhukum sebelum habis tempo percobaan, dituntut karena melakukan perbuatan yang dapat dihukm selama tempo percobaan dan tuntutan itu berakhir dengan keputusan hukum yang tak dapat diubah lagi. Pada masa itu dalam hal yang demikian maka dalam tempo 2 (dua) bulan sejak keputusan tadi dapat diubah lagi, bolehlah hakim memberi perintah menjalankan keputusan yang dipertangguhkan tadi.

Yang dapat memberi perintah dijalankannya hukuman bersyarat itu adalah hakim yang telah memutuskan dalam tingkat pertama atas usul dari jaksa. Meskipun mungkin pula yang menjatuhkan hukuman bersyarat itu hakim banding, namun kekuasaan untuk memberi perintah menjalankannya hukuman bersyarat itu tetap berada ditangan hakim tingkat pertama.

Perintah itu dapat diberikan dalam hal :

1. Bila terhukum dalam tempo percobaan
2. melakukan peristiwa pidana.
3. Bila syarat – syarat istimewah dilanggarnya.
4. Bila terhukum sebelum habis tempo percobaan, telah dijatuhi hukuman karena peristiwa pidana yang telah dilakukannya pada waktu sebelum tempo percobaan itu mulai berlaku.
5. Setelah habis tempo percobaanpun masih dapat pula hukuman dengan bersyarat diperintahkan untuk dijalankan, ialah karena terhukum telah berbuat peristiwa pidana selama tempo percobaan itu, asal saja penuntutannya telah sebelum habis tempo percobaan.

Pelepasan Bersyarat

Pelepasan dengan perjanjian atau pelepasan dengan bersyarat hanya dapat diberikan kepada mereka yang dihukum penjara sementara, bukan kurungan. Syaratnya ialah jika 2/3 lamanya hukuman yang sebenarnya dan 2/3 hukuman itu harus sedikit – dikitnya 9 (sembilan) bulan telah dijalani. Tempo yang dijalani waktu di tahan sementara dalam pemeriksaan pendahuluan tidak termasuk dalam perhitungan. Jadi sudah barang tentu yang dapat mempergunakan kesempatan ini hanya terhukum penjara yang lebih dari 9 bulan.

Setelah dibebaskan selama tempo percobaan ia harus memenuhi syarat – syarat yang diberikan, apabila dilanggar ketinggalan hukumannya harus dijalani. Tempo percobaan itu lamanya lebih dari 1 (satu) tahun dari pada sisa hukuman yang sebenarnya dari si terhukum itu. Apabila orang itu misalnya setelah satu tahun dibebaskan, kemudian melanggar perjanjian ia harus menjalani lagi sisa hukumnya, jadi tempo ia dalam ia dalam kebebasannya selama satu tahun itu tidak sebagai tempo hukuman. Syarat – syarat dari pelepasan bersyarat sama dengan syarat penjatuhan pidana bersyarat hanya dalam syarat umum ditambah kata – kata tak akan berkelakuan yang tidak baik dengan jalan bagaimanapun, contoh hidup malas dan tidak teratur, bergaul dengan orang – orang yang tersohor tidak baik. Apabila dalam tempo percobaan melanggar perjanjian, ia sewaktu – waktu dapat dipanggil kembali untuk menjalani ketinggalan hukumannya.

Pada waktu melepaskan dengan perjanjian itu, kepada orang yang dilepaskan diberikan surat izin melulu sebagai tindakan pengawasan, dan surat izin mana pada waktu berpindah tempat harus diperlihatkan kepada Pemda dari tempat tinggalnya yang lama dan apabila perlu dengan catatannya diperlihatkan kepada Pemda tempat tinggalnya yang baru.

Tujuan Pemidanaan

Tujuan pmidanaan pada zaman dahulu (Yunani) adalah bukanlah pembalasan, akan tetapi menakut – nakuti, memperbaiki, serta tercapainya keamanan. Penganutnya adalah Plato, Aristoteles, Phitagoras.

Pada abad pertengahan (Thomas Aquino) tujuan pemidanaan bukan hanya pembalasan semata – mata, tetapi disesuaikan dengan tujuan negara yaitu kesejahteraan, memperbaiki dan menakut – nakuti.

Pada permulaan abad ke – 19 para sarjana terbagi atas 3 (tiga) golongan :
1. Penganut teori absolut atau teori pembalasan.
2. Penganut teori relatif atau teori tujuan.
3. Penganut teori campuran.

Teori Absolut penganutnya adalah Emmanuel Khant, Pompe, Polak, Herbart.

Herbart : Berpendapat bahwa kejahatan itu harus dibalas dan orang itu harus merasakan penderitaan sesuai dengan kejahatan yang telah dilakukannya.

Polak : Kesalahan yang menentukan berat ringannya pidana. Pidana itu menjadi suatu pembalasan kesalahan dari pembuat peristiwa pidana. Jadi pembuat dalam hal ini harus merasakan penderitaan.

Beliau lebih lanjut mengatakan bahwa ada tiga syarat yang harus dipenuhi pidana itu :

1. Perbuatan itu harus, tercela dan bertentangan dengan etika.
2. Pidana itu tidak dapat ditujukan pada apa yang akan atau dapat terjadi tetapi hanya memperhatikan apa yang telah terjadi.
3. Pidana itu harus seimbang dengan delik yang dilakukan.

Teori Relatif ( Van Hamel )

Menurut teori ini pemidanaan adalah mengamankan masyarakat dengan jalan menjaga dan mempertahankan tata tertib masyarakat. Dalam menjaga dan mempertahankan tata tertib masyarakat, maka pidana itu bertujuan untuk mengindahkan pelanggaran norma – norma hukum. Untuk mengindarkan pelanggaran norma – norma itu, maka dapat bersifat menakut – nakuti , memperbaiki, dan dapat juga bersifat membinasakan.

Jadi menurut teori relatif, pidana itu bersifat mengindarkan ( prevensi ). Sifat prevensi ini ada 2 ( dua ) macam :

1. Prevensi Khusus

Tujuan pidana ditinjau dari segi individu maksudnya supaya si tersalah jangan melanggar lagi. Sifat prevensi khusus adalah :

a. Untuk menahan kesempatan penjahat melakukan niatnya yang buruk, maka pidana itu harus bersifat menakut – nakuti.
b. Pidana itu harus bersifat memperbaiki.
c. Penjahat yang tidak bisa diperbaiki lagi, maka pidana itu bersifat membinasakan.
2. Prevensi Umum

Untuk mencegah supaya orang pada umumnya jangan melanggar, karena pidana itu dimaksudkan untuk menghalang – halangi supaya orang jangan berbuat salah.

Teori prevensi umum mengajarkan bahwa mempertahankan ketertiban umum, terhadap kaum penjahatan harus dipidana berat supaya orang lain takut melanggar peraturan pidana.

Teori Campuran ( Bonger, Simons )

Teori ini adalah kombinasi antara teori pembalasan dan teori tujuan, yaitu membalas kejahatan, melindungi masyarakat.

MACAM – MACAM DELIK

Pembahagian delik :

1. Kejahatan yang terdapat dalam Buku II KUHP
2. Pelanggaran yang terdapat dalam Buku III KUHP

Kejahatan (delik hukum) yaitu perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang – undang sebagai peristiwa pidana, tetapi dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.

Pelanggaran (delik undang – undang) yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada undang – undang yang menentukannya. Tetapi pandangan ini sudah banyak di tinggal / tidak dipakai, yang dipergunakan sebagai ukuran sekarang ialah soal berat ringannya ancaman pidana.

MACAM – MACAM DELIK

1. Delik Dolus dan Delik Culva

Delik Dolus adalah delik yang dilakukan dengan sengaja Pasal 338 KUHP.
Delik Culva adalah delik yang terjadi karena tidak disengaja atau karena kelalaian contoh Pasal 359 KUHP karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang.

2. Delik Formil dan Delik Materiil.

Delik Formil yang dirumuskan secara formil yang menjadi pokok dalam perumusan adalah perbuatan itu sendiri, akibat dari perbuatan tidaklah penting. Contoh Pasal 362 KUHP.
Delik yang dirumuskan secara materiil. Yang menjadi pokok perumusan adalah akibatnya. Yang dilarang disini menyebabkan orang menderita. Cara mendatangkan akibat tidak penting contoh Pasal 338, 351 KUHP.

3. Delik terus menerus dan delik tidak terus menerus.

Delik terus menerus.
Perbuatan yang dilarang itu menimbulkan suatu keadaan yang berlangsung agak lama. Keadaan yang dilarang itu tidak habis pada waktu perbuatan itu selesai. Contoh Pasal 333 KUHP perampasan kemerdakaan orang lain secara tidak sah.

4. Delik geprivelegeer dan delik gequalifegeer.

Delik geprivelegeer adalah suatu perbuatan yang telah memenuhi segala unsur – unsur delik ditambah dengan unsur – unsur yang meringankan.

Delik gequalifegeer adalah delik biasa ditambah dengan unsur – unsur yang memberatkan Pasal 363 KUHP.

5. Delik commisionis dan delik ommisionis.

Delik commisionis adalah delik yang timbul karena melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang – undang pidana contoh 378, 362 dsb.
Delik ommisionis adalah delik yang terjadi karena tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya di lakukan. Contoh Pasal 164 KUHP tidak melaporkan kepada yang berwajib sedang diketahui ada permufakatan jahat yang pada waktu itu masih sempat di cegah.

6. Delicta commisionisperommisionem commissa.

Yaitu delik yang terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat sesuatu. Contoh seseorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi makan kepada anak itu.

Pengertian Delik dan Unsur – unsurnya.

Delik berasal dari bahasa latin yaitu delictum dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeit. Strafbaarfeit ini duterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan terjemahan yang berbeda – beda, seperti :

- Utrecht menggunakan istilah peristiwa pidana, juga Prof.Rusli Effendy.
- Karni menggunakan istilah perbuatan yang dapat dihukum.
- Tirtaamidjaya menggunakan istilah pelanggaran pidana.
- Satochid Kartanegara menggunakan istilah delik.
- Moelyatno menggunakan istilah perbuatan pidana.

Perbuatan pidana menurut Moelyatno adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Rusli Effendy : Peristiwa pidana adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan itu.

Unsur – unsur delik

Mengenai unsur delik dikenal 3 (tiga) aliran :

I. Aliran Monisme (aliran klasik) oleh Simons
II. Aliran dualisme
III. Aliran monodualisme

Aliran Monisme

Menurut aliran monisme unsur – unsur peristiwa pidana merupakan syarat seseorang untuk dipidana. Jadi seorang yang melakukan peristiwa pidana dan hendak dijatuhi pidana diperhatikan semua unsur – unsur dari peristiwa pidana itu.

Menurut aliran monisme unsur – unsur delik adalah :

1. Mencocoki rumusan delik.
2. Ada sifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)
3. Ada kesalahan yang terjadi atas dolus dan culva (tidak ada alasan pemaaf)

Aliran Dualisme (Modern) oleh Moelyatno

Menurut aliran ini dalam suatu peristiwa pidana haruslah dipisahkan antara pembuat dengan perbuatan yang masing – masing mempunyai unsurnya sendiri – sendiri.

Jadi unsur – unsur delik adalah :

1. Pembuat unsurnya :

a. Ada Kesalahan
• Dolus
• Culva

b. Dapat dipertanggung jawabkan
c. Tidak ada alasan pemaaf.

2. Perbuatan unsurnya :

a. Mencocoki rumusan delik
b. Ada sifat melawan hukum
• Materiil
• Formil

c. Tidak ada alasan pembenar.

Keterangan

Dolus : ada tiga tingkat kesengajaan

1. Sengaja sebagai niat
2. Sengaja sebagai dengan kesadaran pasti terjadi
3. Sengaja inyaf akan kemungkinan

Culva : Culva terbagi atas :

1. Culva lata terdiri atas :
a. culva lata yang diinsyafi
b. culva latayang tidak diinsyafi
2. Culva levis

Jenis – jenis dolus

• Dolus determinatus : sasaran tertentu mis ; A ingin membunuh B
• Dolus indeterminatus : sasaran tidak tertentu yaitu kelompok. misal A mengarahkan pistolnya pada suatu kelompok yang dianggap lawannya.
• Dolus alternatifus : kehendak pelaku A atau B
• Dolus general : A melemparkan bom pada suatu gedung yang banyak orang.
• Dolus indirectus : akibat tidak dikehendaki, contohnya A ingin menganiaya B tetapi B lalu mati. Kematian B disini tidak di
• Dolus : sengaja yang direncanakan.

Mengenai pemisahan antara pembuat dan perbuatan tidaklah terpisah secara prinsipil melainkan hanya bersifat tehnis saja. Tujuannya adalah untuk menggampangkan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Pemisahan itu diadakan pada waktu menyelidiki ada atau tidaknya peristiwa pidana dan pada waktu hendak menjatuhkan pidana kedua segi tersebut disatukan kembali. Ini berarti bahwa kedua segi tersebut sama pentingnya dalam menjatuhkan pidana. Dalam demikian aliran ini dapat juga disebut aliran monodualisme.

Alasan Pengurangan dan Penambahan Pidana

ALASALASAN PENGURANGAN PIDANA

KUHP mengenal dua cara alasan pengurangan pidana bersifat umum

a.              Percobaan (Pasal 53 KUHP )
b.             Pembantuan  (Pasal 56 dan pasal 57 KUHP )
c.              Belum cukup umur  (Pasal 47 KHUP)

2.       Yang bersifat khusus terdapat dalam Pasal 308, 341, 342 KUHP
 PERCOBAAN

Undang – undang tidak memberikan definisi apakah yang dimaksud dengan percobaan itu tetapi yang diberikan ialah ketentuan mengenai syarat – syarat supaya percobaan pada kejahatan itu dapat dihukum.

Supaya percobaan pada kejahatan (pelanggaran tidak ) dapat dihukum harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut :

1.      Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan.
2.      Orang sudah mulai berbuat kejahatan, atau sudah ada permulaan kejahatan.
3.      Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, karena terhalang oleh sebab – sebab yang timbul kemudian, tidak terletak pada kemauan penjahat itu sendiri.

Menurut arti kata sehari – hari yang diartikan percobaan yaitu menuju kesuatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai akan tetapi tidak selesai, misalnya bermaksud membunuh orang – orangnya tidak mati, hendak mencuri barang tetapi tidak sampai mengambil barang itu.

PEMBANTUAN

Dalam praktek pada umumnya orang yang membantu itu bisa mendapat hukuman 1/3 lebih kurang dari hukuman yang dijatuhkan pada penjahat yang dbantunya, akan tetapi ada kemungkinan bahwa dengan melihat duduk perkaranya hakim menjatuhkan hukuman lebih berat dari pada orang yang dibantunya. Contoh A membantu B mencuri di rumah C. A menjaga di luar tetapi ketahuan C  lalu A memukul C hingga mati.

Menurut Pasal 56 KUHP pembantuan ada dua macam :

1.      Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan.
2.     Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan.

Pembantuan setelah kejahatan dilakukan tidak termasuk dalam pasal ini tetapi masuk Pasal 480 KUHP yaitu perbuatan sekongkol atau tadah.

BELUM CUKUP UMUR
                              
Apabila seorang anak yang belum cukup umur melakukan suatu kejahatan maka hakim dapat memutuskan salah satu dari tiga kemungkinan :

1.      Anak itu dikembalikan pada orang tuanya atau walinya dengan tidak dijatuhi suatu hukuman apapun.
2.      Anak itu dijadikan anak negara, maksudnya tidak dijatuhi hukuman tetapi diserahkan ke rumah pendidikan anak – anak  nakal untuk mendapat didikan di negara.
3.      Anak itu dijatuhi hukuman seperti biasa tetapi hukumannya dikurangi 1/3 dari hukuman yang sebenarnya.

Dengan tiga macam kemungkinan ini kepada hakim diberi kesempatan untuk menimbang tentang kecakapan rohani terdakwa yang masih muda itu. Apabila misalnya hakim menganggap bahwa anak itu kecakapan akalnya ternyata  tidak normal perkembangannya maka hakim mengirim kembali anak itu pada orang tuanya. Akan tetapi apabila hakim menganggap bahwa anak yang berumur 13 atau 15 tahun itu telah berbuat suatu kejahatan dengan akal yang cukup mampu untuk membeda - bedakan, hakim ada kesempatan untuk menjatuhkan hukuman akan tetapi hukuman yang dijatuhkan tidak boleh lebih dari 2/3 maksimum hukum – hukuman yang diancamkan (dikurangi 1/3 dari hukuman yang diancamkan)

ALASAN – ALASAN PENAMBAHAN PIDANA

Dalam KUHP dikenal dua macam alasan penambahan pidana

1.      Alasan yang bersifat umum
        
a.        Kedudukan sebagai pejabat ( Pasal 52 KUHP )
b.       Residive atau pengulangan ( Pasal 486 KUHP )
c.        Gabungan ( Pasal 63 KUHP )

2.      Alasan yang bersifat khusus terdapat dalam Pasal 486, 487 dan 488

Pasal 52 KUHP

         Syarat yang pertama ialah orang itu harus pegawai negeri. Mengenai pegawai negeri lihat Pasal 92 KUHP. Syarat yang kedua pegawai negeri itu harus melanggar kewajibannya yang istimewah dalam jabatannya atau memakai kekuasaan, kesempatan, atau daya upaya ( alat ) yang diperoleh dari jabatannya. Yang di langgar itu harus suatu kewajiban istimewah bukan kewajiban biasa. Contohnya seorang polisi ditugaskan menjaga suatu bank negara supaya pencuri tidak masuk, malah ia yang mencuri. Contoh lain Seorang bendaharawan yang menggelapkan uang.

Pasal 486 KUHP

         Residivist adalah orang yang telah melakukan suatu kejahatan dan terhadap perbuatan mana telah dijatuhi hukuman, akan tetapi setelah itu ia sebelum lima tahun berlalu melakukan jenis kejahatan itu lagi atau menurut undang – undang sama jenisnya.

         Syarat residive umum

1.      Mengulangi kejahatan yang sama atau oleh undang – undang dianggap sama macamnya, Sama macamnya maksudnya kali ini mencuri, lain kali mencuri lagi. Oleh undang – undang dianggap sama macamnya yaitu semua pasal yang tersebut dalam Pasal 486 KUHP meskipun lain macamnya tetapi dianggap sama.
2.      Antara melakukan kejahatan yang satu dengan yang lain sudah ada putusan hakim.
3.      Harus hukuman penjara.
4.      Antaranya tidak lebih dari lima tahun terhitung sejak tersalah menjalani sama sekali atau sebahagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.

Pasal 63 KUHP
        
         Gabungan peristiwa pidana ( samenloop ) yaitu melukiskan satu orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana.

Samenloop dibedakan atas tiga macam

1.      Concursus idealis ( gabungan satu perbuatan ) Pasal 63 KUHP
2.      Concursus realis ( gabungan beberapa perbuatan ) Pasal 65
3.      Voogezette handeling ( perbuatan yang diteruskan ).
     

FUNGSI MATERAI DALAM SURAT PERJANJIAN

Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam Akta dan Surat bukan akta, dan Akta dapat dibedakan dalam Akta Otentik dan Akta Di bawah tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangai, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Di dalam KHUPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai pasal 1880.

Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan  adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dsb, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dsb.

Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yatiu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KHUPerdata, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.

Dalam Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterei.

Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian (misalnya perjanjian jual beli) tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata.

Bila suatu surat yang dari semula tidak diberi meterei dan akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.
(Bung Pokrol)

Senin, 26 April 2010

PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA TAHAP PENYIDIKAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN

Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. 
            Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana  ditentukan dalam Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang menyatakan : “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung  jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.
            Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.
Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1), yang menyatakan : “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”.
Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada pasal 180 ayat (1) yang menyatakan : “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.
Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
            Bantuan seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap pemeriksaan lanjutan di sidang pengadilan, mempunyai peran dalam membantu aparat yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan keahlian khusus, memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta pada akhirnya dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap perkara yang diperiksanya.
            Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil yang didapat dari tindakan penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan diproses pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan.
            Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut.
            Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
            Melihat tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat saat ini, dapat dikatakan kejahatan perkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Dari kuantitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyak media cetak maupun televisi yang memuat dan menayangkan kasus-kasus perkosaan. Sebuah Lembaga Perlindungan Anak di Jawa Timur (LPA Jatim), dalam datanya mengenai tingkat kejahatan perkosaan yang terjadi pada anak, mengungkapkan bahwa kasus perkosaan anak mengalami peningkatan yang cukup memprihatinkan. Disebutkan dalam laporan tahunan lembaga tersebut, pada tahun 2002 kekerasan seksual pada anak mencapai 81 kasus. Pada tahun 2003 di triwulan pertama sampai bulan Maret, di Jawa Timur telah terdapat 53 anak dibawah umur yang menjadi korban perkosaan. Jumlah ini meningkat 20 % dibandingkan kasus yang terjadi pada tahun 2002. Ditengarai  bahwa kasus perkosaan yang terjadi jumlahnya lebih banyak dari data yang diperoleh oleh lembaga tersebut.
            Dari kualitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin beragamnya cara yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak perkosaan, berbagai kesempatan dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya tindak perkosaan, hubungan korban dan pelaku yang justru mempunyai kedekatan karena hubungan keluarga, tetangga, bahkan guru yang seharusnya membimbing dan mendidik, bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap korban, serta usia korban perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi pada anak-anak.  
            Mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi, berupaya membuat terang tindak pidana tersebut, dan selanjutnya dapat menemukan pelaku tindak pidana perkosaan. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan.
            Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya  .   
            Dalam kenyataannya, pengusutan terhadap kasus dugaan perkosaan oleh pihak Kepolisian telah menunjukkan betapa penting peran visum et repertum. Sebuah surat kabar memuat berita mengenai kasus dugaan perkosaan yang terjadi di daerah hukum Polresta Tanjung Perak Surabaya, terpaksa kasus tersebut dihentikan pengusutannya oleh pihak Kepolisian disebabkan hasil visum et repertum tidak memuat keterangan mengenai tanda terjadinya persetubuhan. Orang tua korban dengan dibantu oleh sebuah lembaga perlindungan perempuan, berupaya agar pihak Kepolisian dapat meneruskan pengusutan kasus tersebut karena menurut keterangan lisan yang disampaikan dokter pemeriksa kepada keluarga korban menyatakan bahwa selaput dara korban robek dan terjadi infeksi. Permintaan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti karena pihak Kepolisian mendasarkan tindakannya pada hasil visum et repertum yang menyatakan tidak terdapat luka robek atau infeksi pada alat kelamin korban. Disebutkan oleh Kapolresta Tanjung Perak Surabaya bahwa karena hasil visum dokter menyatakan selaput dara masih utuh, maka tidak ada alasan bagi polisi untuk melanjutkan pemeriksaan kasus tersebut.
            Peranan visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan sebagaimana terjadi dalam pemberitaan surat kabar di atas, menunjukkan peran yang cukup penting bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan.
Dalam kenyataannya tidak jarang pihak Kepolisian mendapat laporan dan pengaduan terjadinya tindak pidana perkosaan yang telah berlangsung lama. Dalam kasus yang demikian barang bukti yang terkait dengan tindak pidana perkosaan tentunya dapat mengalami perubahan dan dapat kehilangan sifat pembuktiannya. Tidak hanya barang-barang bukti yang mengalami perubahan, keadaan korban juga dapat mengalami perubahan seperti telah hilangnya tanda-tanda kekerasan. Mengungkap kasus perkosaan yang demikian, tentunya pihak Kepolisian selaku penyidik akan melakukan upaya-upaya lain yang lebih cermat agar dapat ditemukan kebenaran materiil yang selengkap mungkin dalam perkara tersebut.
Sehubungan dengan peran visum et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan, pada kasus perkosaan dimana pangaduan atau laporan kepada pihak Kepolisian baru dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban, hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum tentunya dapat berbeda dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana perkosaan. Terhadap tanda-tanda kekerasan yang merupakan salah satu unsur penting untuk pembuktian tindak pidana perkosaan, hal tersebut dapat tidak ditemukan pada hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum. Menghadapi keterbatasan hasil visum et repertum yang demikian, maka akan dilakukan langkah-langkah lebih lanjut oleh pihak penyidik agar dapat diperoleh kebenaran materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas tindak pidana perkosaan yang terjadi.

Sistem Pembuktian Dan Teori Pembuktian


R. Soesilo (1985 : 6-8), mengatakan bahwa ada 4 macam sistem atau teori pembuktian, yaitu :
1.      Sistem Pembuktian menurut Undang-undang yang positif.
            Menurut sistem ini, maka salah atau tidaknya sejumlah alat-alat bukti yang telah ditetapkan undang-undang.
            Menurut peraturan ini pekerjaan hakim semata-mata hanya mencocokan apakah sejumlah bukti yang telah ditetapkan dalam undang-undang sudah ada, bila sudah ia tidak perlu menanyakan isi hatinya (yakin atau tidak), tersangka harus dinyatakan salah dan jatuhi hukuman.
            Dalam sistem ini keyakinan hakim tidak turut mengambil bagian sama sekali, melainkan undang-undanglah ,yang berkuasa disini.  
2.      Sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif.
            Menurut sistem ini hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman, apabila sedikit-dikitnya jumlah alat bukti yang telah ditentukan adalah undang-undang ada, ditambah dengan keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya.
            Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa, maka ,harus diputus bebas.
            Dalam sistem ini bukan undang-undang yang berkuasa melainkan hakim, tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh undang-undang.
3.      Sistem Pembuktian Bebas.
            Menurut sistem ini, Undang-undang tidak menentukan peraturan seperti sistem spembuktian yang harus ditaati oleh hakim, Sistem ini menganggap atau mengakui juga adanya alat-alat bukti tertentu, akan tetapi alat-alat bukti ini tidak ditetapkan dalam undang-undang seperti sistem pembuktian menurut undang-undang yang positif dan sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif.
            Dalam menentukan macam-macam dan banyaknya alat-alat bukti yang dipandang cukup untuk menentukan kesalahan terdakwa, hakim mempunyai keleluasaan yang penuh. Ia bebas untuk menetapkan itu. Adapun peraturan yang mengikat kepadanya adalah bahwa dalam keputusannya ia harus menyebutkan pula alasan-alasannya.

4.      Sistem Pembuktian melulu berdasarkan atas keyakinan belaka.
            Menurut sistem ini hakim tidak terikat kepada alat-alat bukti yang tertentu, ia memutuskan, kesalahan terdakwa melulu berdasarkan atas keyakinannya.
            Dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan yang penuh dengan tidak dikontrol sama sekali.
            Tentunya selalu ada alasan berdasar pikiran secara logika, yang mengakibatkan seorang hakim mempunyai pendapat tentang terbukti atau tidak dari suatu keadaan. Soalnya adalah bahwa dalam sistem ini hakim tidak diwajibkan menyebut alasan-alasan itu dan apabila hakim menyebutkan alat-alat bukti yang ia pakai, maka ,hakim dapat memakai alat bukti apa saja.
            Keberadaan sistem ini ialah bahwa terkandung didalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada ketetapan kesan-kesan perorangan belaka dari seorang hakim. Pengawasan terhadap putusan-putusan hakim seperti in adalah sukar untuk dilakukan, oleh .karena badan pengawas tidak dapat tahu pertimbangan-pertimbangan hakim, yang mengalirkan pendapat hakim kearah putusan.
            Setelah membahas teori-teori pembuktian dalam hukum acara pidana, maka timbulah pertanyaan bahwa sistem apakah yang sekarang ini dipakai di Indonesia ?
            Pasal 183 KUHAP, ditentukan :
            Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya pdua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

            Dengan berdasar Pasal 183 KUHAP, maka terjawablah bahwa hukum acara pidana di Negara Indonesia memakai sistem menurut Undang-undang negatif.